Sebagian besar orang sudah kehilangan kepercayaan kepada media arus utama (mainstream) dan lebih curiga terhadap media sosial. Sebanyak 54 persen konsumen kini menggunakan media sosial untuk mengetahui berita terbaru.
Demikian temuan jajak pendapat terbaru dari Digital News Report dari lembaga kajian jurnalistik, Reuters Institute for the Study of Journalism yang dirilis Kamis (22/6/2017).
Sekitar 33 persen dari 70.000 responden dari 36 negara mengaku tidak bisa mempercayai kebenaran berita.
Hanya 24 persen responden yang percaya bahwa media sosial melakukan tugas yang baik dalam memisahkan fakta dari hasil karangan. Media arus utama mendapat suara 40 persen menyangkut tugas yang sama.
Di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, para responden punya kecenderungan jauh lebih besar untuk percaya pada media arus utama yang dianggap mampu menghentikan penyebaran berita bohong.
Di negara lain seperti Yunani, para warga lebih percaya pada media sosial.
"Meski media arus utama tidak dipercaya, mereka masih punya tingkat kepercayaan dua kali lipat lebih tinggi untuk memisahkan fakta dari fiksi dibanding media sosial," kata kepala tim penulis edisi keenam Digital News Report, Nic Newman.
"Berita bohong sebenarnya merupakan kabar baik bagi jurnalisme, karena bisa menjadi kesempatan untuk membangun kembali nilai penting mereka bagi masyarakat dan fokus pada kualitas," kata Newman.
Dia mengatakan, banyaknya berita bohong (hoax) membuat orang rela membayar mahal untuk mendapatkan berita dari media terpercaya.
Hanya 24 persen responden yang percaya bahwa media sosial melakukan tugas yang baik dalam memisahkan fakta dari hasil karangan. Media arus utama mendapat suara 40 persen menyangkut tugas yang sama.
Di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, para responden punya kecenderungan jauh lebih besar untuk percaya pada media arus utama yang dianggap mampu menghentikan penyebaran berita bohong.
Di negara lain seperti Yunani, para warga lebih percaya pada media sosial.
"Meski media arus utama tidak dipercaya, mereka masih punya tingkat kepercayaan dua kali lipat lebih tinggi untuk memisahkan fakta dari fiksi dibanding media sosial," kata kepala tim penulis edisi keenam Digital News Report, Nic Newman.
"Berita bohong sebenarnya merupakan kabar baik bagi jurnalisme, karena bisa menjadi kesempatan untuk membangun kembali nilai penting mereka bagi masyarakat dan fokus pada kualitas," kata Newman.
Dia mengatakan, banyaknya berita bohong (hoax) membuat orang rela membayar mahal untuk mendapatkan berita dari media terpercaya.
Saat ini, 16 persen warga Amerika Serikat bersedia berlangganan berita dibanding sembilan persen pada waktu sebelumnya. Bukti yang ada juga menunjukkan kecenderungan sama di negara lain.
Newman berpendapat, peran media sosial belum tergantikan, meski banyak orang kini memilih aplikasi pengirim pesan untuk mendapatkan berita, karena frustrasi terhadap debat berkepanjangan di Facebook dan Twiter.
"Media sosial berperang besar untuk penyebaran berita insidental, terutama di negara-negara dengan media yang dikontrol oleh pemerintah," katanya.
"Media sosial menyebarkan lebih banyak sudut pandang dan isu, sebagaimana terjadi saat krisis migran di mana orang-orang melaporkan secara langsung dari tempat penampungan pengungsi," kata Newman dikutip Antara.*
Jajak pendapat Reuters Institute, yang menggunakan jasa YouGov, juga menunjukkan 54 persen konsumen kini menggunakan media sosial untuk mengetahui berita terbaru.
Newman berpendapat, peran media sosial belum tergantikan, meski banyak orang kini memilih aplikasi pengirim pesan untuk mendapatkan berita, karena frustrasi terhadap debat berkepanjangan di Facebook dan Twiter.
"Media sosial berperang besar untuk penyebaran berita insidental, terutama di negara-negara dengan media yang dikontrol oleh pemerintah," katanya.
"Media sosial menyebarkan lebih banyak sudut pandang dan isu, sebagaimana terjadi saat krisis migran di mana orang-orang melaporkan secara langsung dari tempat penampungan pengungsi," kata Newman dikutip Antara.*