Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi mengemukakan wacana penghapusan bahasa lokal atau bahasa daerah.
Muhadjir mengemukakan, sering terjadinya perang suku di Papua, salah satunya disebabkan soal bahasa. Menurutnya, perselisihan yang sering terjadi sebagian besar karena kesalahpahaman ketika berkomunikasi. Karena setiap kampung mempunyai bahasa sendiri. (merdeka).*
Ia menilai, keberagaman bahasa lokal bisa memicu perselisihan antar warga. Kondisi ini seperti yang terjadi di beberapa daerah. Adanya perbedaan makna dalam bahasa lokal membuat terjadi kesalahpahaman.
Mendikbud pun mewacanakan untuk melakukan penyerapan bahasa lokal menjadi induk bahasa.
Mendikbud menyampiaikan hal itu usai menghadiri Semiloka dan Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara di auditorium Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Rabu (8/8/2018).
Muhadjir menyebutkan, keberagaman bahasa lokal yang mencapai lebih dari 700 bahasa memang perlu dilestarikan. Namun, di satu sisi dalam upaya tersebut sering menghadapi sejumlah kendala.
"Bahasa daerah memang harus dilestarikan, dibina dan mengembangkannya. Tetapi banyaknya bahasa itu jumlah penuturnya hanya ratusan atau ribuan, ada baiknya kemudian dipilih bahasa induk dari bahasa lokal yang banyak itu diserap," urainya diberitakan Jawa Pos.
Muhadjir menambahkan, untuk bahasa lokal menjadi ujaran atau kosa kata dari bahasa induk atau daerah. Dari ratusan bahasa yang ada di daerah bisa dipilih empat atau lima bahasa utama yang memang penuturnya memadai.
Muhadjir menegaskan, upaya penyerapan bahasa lokal ini bukan merupakan upaya untuk menghilangkan bahasa daerah itu sendiri, melainkan upaya untuk menyerap bahasa sehingga ada bahasa induk.
"Istilahnya bukan punah tapi diserap, pilihannya memang sulit. Kalau tidak ada kesulitan kami pasti membina dan mengembangkan bahasa lokal, tetapi ini memang pilihan yang sulit," katanya.
Muhadjir berharap, penyerapan bahasa lokal bisa memperkecil kemungkinan terjadinya konflik atau warga yang mempunyai ragam bahasa lokal yang berbeda.
Mendikbud menyampiaikan hal itu usai menghadiri Semiloka dan Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara di auditorium Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Rabu (8/8/2018).
Muhadjir menyebutkan, keberagaman bahasa lokal yang mencapai lebih dari 700 bahasa memang perlu dilestarikan. Namun, di satu sisi dalam upaya tersebut sering menghadapi sejumlah kendala.
"Bahasa daerah memang harus dilestarikan, dibina dan mengembangkannya. Tetapi banyaknya bahasa itu jumlah penuturnya hanya ratusan atau ribuan, ada baiknya kemudian dipilih bahasa induk dari bahasa lokal yang banyak itu diserap," urainya diberitakan Jawa Pos.
Muhadjir menambahkan, untuk bahasa lokal menjadi ujaran atau kosa kata dari bahasa induk atau daerah. Dari ratusan bahasa yang ada di daerah bisa dipilih empat atau lima bahasa utama yang memang penuturnya memadai.
Muhadjir menegaskan, upaya penyerapan bahasa lokal ini bukan merupakan upaya untuk menghilangkan bahasa daerah itu sendiri, melainkan upaya untuk menyerap bahasa sehingga ada bahasa induk.
"Istilahnya bukan punah tapi diserap, pilihannya memang sulit. Kalau tidak ada kesulitan kami pasti membina dan mengembangkan bahasa lokal, tetapi ini memang pilihan yang sulit," katanya.
Muhadjir berharap, penyerapan bahasa lokal bisa memperkecil kemungkinan terjadinya konflik atau warga yang mempunyai ragam bahasa lokal yang berbeda.
"Apakah kita akan terus memelihara atau menyederhanakan menjadi bahasa utama, karena itu saya minta dipertimbangkan dan dibahas dalam forum ini," tandasnya.