Dewan Pers mencatat jumlah media online di Indonesia mencapai sekira 43 ribu situs dan mayoritas belum terverifikasi.
"Baru 230 yang terverifikasi di Dewan Pers," ujar anggota Dewan Pers, Ratna Komala, Rabu (26/4/2017) dikutip Okezone.
Ratna mengungkapkan, data yang diperoleh dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, tahun 2016 terdapat 800 ribu situs yang terindikasi penyebar berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech).
Dikemukakan pula, saat ini masyarakat lebih memilih untuk mengakses berita secara online. Namun, hanya sedikit media yang terverifikasi. Hal itu dapat memicu munculnya hoax.
"Dari UC Browser itu 95,4 persen masyarakat membaca konten berita dari smartphone. Dari TV 45,9 persen, 20,9 persen dari majalah dan koran. Banyak yang butuh berita sementara penyedia berita yang terverifikasi baru sedikit," paparnya.
Ia berharap, media yang sudah terverifikasi dapat menjaga kaidah jurnalistik agar tidak kehilangan kepercayaan.
"Kalau media tidak menjaga kaidah yang harus dipatuhi, maka akan kehilangan kepercayaan. Faktanya banyak sekali yang juga menggunakan sumber abal-abal. Info yang tanpa verifikasi," pungkasnya.
Dewan Pers belakangan ini gencar memerangi hoax. Salah satunya dengan melakukan verifikasi terhadap media online.
Situs berita yang terverifikasi --sehingga disebut media pers resmi-- antara lain berbadan hukum berupa PT.
Namun demikian, tidak ada jaminan hoax dapat dihapuskan. Pasalnya, kebanyakan hox muncul dan tersebar di media sosial, bukan di situs berita atau media massa.
Survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menunjukkan bahwa media sosial menjadi platform yang paling sering digunakan untuk menyebarkan berita bohong.
Dikutip Antara, menurut survei Mastel, sebanyak 62,8 persen berita bohong dari aplikasi pesan dan media sosial; 34,9 persen dari situs, dan 8,7 persen dari televisi.*
"Baru 230 yang terverifikasi di Dewan Pers," ujar anggota Dewan Pers, Ratna Komala, Rabu (26/4/2017) dikutip Okezone.
Ratna mengungkapkan, data yang diperoleh dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, tahun 2016 terdapat 800 ribu situs yang terindikasi penyebar berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech).
Dikemukakan pula, saat ini masyarakat lebih memilih untuk mengakses berita secara online. Namun, hanya sedikit media yang terverifikasi. Hal itu dapat memicu munculnya hoax.
"Dari UC Browser itu 95,4 persen masyarakat membaca konten berita dari smartphone. Dari TV 45,9 persen, 20,9 persen dari majalah dan koran. Banyak yang butuh berita sementara penyedia berita yang terverifikasi baru sedikit," paparnya.
Ia berharap, media yang sudah terverifikasi dapat menjaga kaidah jurnalistik agar tidak kehilangan kepercayaan.
"Kalau media tidak menjaga kaidah yang harus dipatuhi, maka akan kehilangan kepercayaan. Faktanya banyak sekali yang juga menggunakan sumber abal-abal. Info yang tanpa verifikasi," pungkasnya.
Dewan Pers belakangan ini gencar memerangi hoax. Salah satunya dengan melakukan verifikasi terhadap media online.
Situs berita yang terverifikasi --sehingga disebut media pers resmi-- antara lain berbadan hukum berupa PT.
Namun demikian, tidak ada jaminan hoax dapat dihapuskan. Pasalnya, kebanyakan hox muncul dan tersebar di media sosial, bukan di situs berita atau media massa.
Survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menunjukkan bahwa media sosial menjadi platform yang paling sering digunakan untuk menyebarkan berita bohong.
Dikutip Antara, menurut survei Mastel, sebanyak 62,8 persen berita bohong dari aplikasi pesan dan media sosial; 34,9 persen dari situs, dan 8,7 persen dari televisi.*