Ketidaksopanan warganet Indonesia itu antara lain berupa ujaran kebencian. Hasil survei Digital Civility Index (DCI) pada Februari 2021, terdapat 3.640 ujaran kebencian yang diumbar warganet di media sosial dalam kurun 2018-2021.
Lalu sebanyak 27 persen responden pernah menjadi korban ujaran kebencian, 13 persen menjadi korban diskriminasi, dan 43 persen pernah termakan hoax dan penipuan.
Menurut Social Media Officer Good News From Indonesia, Ni Putu Ruslina Darmayanthi, etika dalam beraktivitas di ruang digital sangat penting untuk dilakukan dengan cara selalu mengedepankan sopan santun.
“Sopan santun adalah landasan utama masyarakat yang beradab. Mari kita perlakukan setiap orang dengan baik dan hormati, baik itu di dunia nyata, maupun di dunia digital,” ucap Ruslina dalam rilis persna dikutip Tvonenews, Senin (31/10/2022).
Ia menambahkan, dunia digital tidak berbeda dengan dunia nyata, ada ragam kultur dan budaya yang harus dihormati. Interaksi ragam budaya di dunia digital membutuhkan standar baru norma atau etika yang kerap disebut etika digital.
Penyebab netizen Indonesia disebut tidak sopan
Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani, berasumsi ada tiga faktor yang memengaruhi warganet Indonesia tidak sopan.
Dalam data DCI disebutkan, hoax, penipuan, dan ujaran kebencian yang mengalami kenaikan 5-13%, kemungkinan terkait dengan beredarnya berita-berita seputar Covid-19, yang berasal dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawaban kredibilitasnya.
Faktor pertama adalah ketidakpastian. Situasi pandemi yang tidak pasti, membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber. Sehingga, jika terjadi kesimpangsiuran dan banjir informasi, mereka akan percaya pada apa yang diyakini.
“Apalagi jika informasi berasal dari orang terdekat, tanpa melakukan cek dan ricek, akan langsung mem- forward apapun informasi yang diterima. Mata rantai informasi hoaks semakin panjang,” jelasnya.
Faktor kedua yang disebut Endang adalah kesulitan ekonomi selama pandemi, yang menjadi penyebab naiknya kasus penipuan. Menurutnya, sebagian orang akan mencari cara untuk mendapatkan uang, meski harus menipu orang lain.
“Dari yang saya amati, banyak penipuan yang menggunakan alasan kesusahan, sementara di sisi lain, orang Indonesia terkenal dermawan. Salah satunya berdasarkan CAF World Giving Index,” ujarnya.
“Banyak orang segera mewujudkan keinginan memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan bantuan, tanpa menyadari adanya kemungkinan penipuan,” lanjutnya.
Faktor ketiga adalah rasa frustrasi. Dituturkan Endang, ujaran kebencian di media sosial, bisa jadi merupakan respons rasa frustasi yang dialami selama pandemi. Selain menjadi bentuk luapan atau ungkapan emosional, ujaran kebencian dapat muncul dari dorongan untuk melampiaskan rasa frustrasi,
“Harus ada yang disalahkan”. Dan siapa saja bisa menjadi sasaran. “Apalagi dalam dunia media sosial, seseorang dapat menyembunyikan identitas diri sebenarnya, seperti menggunakan nama samaran. Sehingga, lebih berani melemparkan kata-kata yang tidak pada tempatnya untuk membully pihak lain.”
Endang menekankan pentingnya bijak menggunakan media sosial. Biasakan untuk selalu cek dan ricek saat menerima informasi, menjaga norma, serta nilai sopan santun ketika berbahasa dalam media sosial.
“Saring sebelum sharing. Saya juga yakin, di dunia nyata, di mana identitas individu tak disembunyikan, orang Indonesia masih memiliki sopan santun yang tinggi,” pungkasnya dikutip Kompas.*